Kamis, 22 November 2012

Mentertawakan Ditertawakan

1992
Heboh. Itulah yang terjadi pada jemaah haji.  Di bandara  pada waktu akan naik pesawat, heboh nyari tempat duduk seperti layaknya naik bis. Padahal di tiket sudah dicantumkan nomor kursi. Ada yan ngotot, ingin duduk dekat jendela karena ingib melihat pemandangan. Yang menggelikan, beberapa orang yang duduknya harus di lantai dua (Pesawat jumbo). Menolak. Mereka, ingin duduk di lantai bawah pesawat. Usut punya usut, ternyata mereka ketakutan. Karena di lantai dua, tidak ada pilotnya.

Heboh, adalah situasi yang sudah biasa terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji. Pun pada saat kepulangan ke tanah air. Seringkali pesawat delay, harus menunggu cukup lama. Sudah menunggu cukup lama ternyata gate di pindah. Heboh, semua berlari-lari menuju gate yang diumumkan. Semua ingin di depan. Berlari-lari sambil menyeret troli atau koper masing-masing.

Di tengah kesibukan dan kehebohan bandara. Para petugas cleaning service, melaksanakan tugas seperti biasa. Mereka sepertinya sudah terbiasa dengan hiruk pikuk di tempat tugasnya.

Entah kenapa, tiba-tiba salah seorang petugas kebersihan bandara terpeleset. Jatuh terlentang. Dua saudara kandung, yang sedang berjalan mendorong koper. Melihat kejadian itu sontak malah tertawa, sampai terpingkal-pingkal. Sambil nunjuk ke petugas kebersihan yang terjatuh.

Lucunya, tidak sampai dalam hitungan detik. Masih di depan si petugas cleaning service. Tiba-tiba, siuuuuuttt...blug! Kedua saudara kandung saya juga terpeleset dan jatuh terlentang. Ditertawakan oleh orang yang tadi ditertawakan mereka :]

Jumat, 26 November 2010

Guru Berkarakter Kunci Pendidikan Karakter

Munculnya gagasan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, diawali dari proses pendidikan yang ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia seperti yang diinginkan oleh UUD No.20 tahun 2003. Pembentukan karakter yang seharusnya menjadi jiwa dari pendidikan itu sendiri belum tercapai. Hal itu terjadi karena pendidikan hanya dititikberatkan pada konsep-konsep pelajaran. Menekankan pada kemampuan intelektual semata.

Proses pendidikan di negeri kita lebih dititikberatkan pada hasil daripada proses. Keberhasilan siswa dimanifestasikan dalam bentuk jejeran angka dalam buku laporan. Tinggi rendahnya angka seperti itu tidak mencerminkan karakteristik siswa yang sebenarnya di lapangan. Meskipun dalam buku laporan tersebut dicantumkan target ketercapaian siswa, pun itu hanya bersifat legal formal saja. Guru, orang tua dan siswa terjebak dalam pola pikir bahwa keberhasilan belajar mengajar dicerminkan dengan besar kecilnya angka. Proses pendidikan yang seperti inilah mungkin yang mengakibatkan munculnya berbagai perilaku negatif siswa.

Hampir setiap hari oleh media masa, kita disuguhi berbagai informasi tentang sikap dan perilaku negatif para remaja, yang notabene anak sekolahan. Informasi tersebut menayangkan berbagai tindakan tidak terpuji yang mereka lakukan seperti: tawuran, merokok, seks bebas, melakukan kekerasan, plagiasi (copas), ketidakpedulian terhadap lingkungan, berbicara vulgar, menggunakan narkoba dan lain sebagainya, menjadi konsumsi informasi kita setiap hari.

Bahkan akhir-akhir ini yang membuat miris, munculnya geng motor yang tumbuh dengan suburnya dibeberapa kota besar di Jawa Barat terutama di Bandung. Eksistensi geng motor ini bahkan meluas ke Cirebon, Tasikmalaya, Garut. Perilaku mereka sangat jauh dari nilai-nilai keberadaban. Tidak segan mereka melakukan kekerasan seperti melukai, bahkan membunuh korbannya tanpa alasan.

Semestinya, kita; guru; orang tua dan masyarakat melakukan introspeksi yang langsung atau tidak langsung, atas terbentuknya perilaku negatif itu. Pendidikan semestinya tidak hanya dibebankan di atas pundak guru, tetapi semestinya menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Orang tua dan masyarakat semestinya bersinergi dengan guru untuk melakukan pendidikan secara bersama-sama. Sehingga guru tidak lagi menjadi kambing hitam perilaku negatif para siswa.

Munculnya anggapan bahwa proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru saat ini, tidak menyentuh sisi kemanusiaan siswa. Proses belajar mengajar hanya mengejar target kurikulum, tidak ada "touch”-nya terhadap esensi moralitas siswa didiknya. Banyak oknum guru melaksanakan tugas terkesan hanya seadanya. Masuk kelas, melakukan presensi, memberikan tugas atau mencatat. Selanjutnya, serahkan pada tas atau jaket.

Banyak oknum guru yang juga tidak mencerminkan etika dan budi pekerti seorang guru. Keberanian untuk menolak dan tidak melakukan pebuatan yang tidak sesuai dengan hati nurani, seringkali terkalahkan oleh rasa takut yang tidak beralasan. Misalnya pada saat Ujian Akhir Nasionan, banyak guru yang seharusnya menjadi suri tauladan atas kejujuran, justru melakukan kecurangan dengan memberikan kunci jawaban. Contoh lainnya, di sekolah-sekolah, tertempel spanduk atau poster: “Anda memasuki kawasan areal bebas narkoba dan asap rokok” Ironisnya justru guru bahkan kepala sekolahnya merokok di bawah spanduk itu! Guru memberikan hukuman yang tidak mendidik, melempar dengan penghapus, menampar, bahkan menyidang siswa perokok sambil merokok. Masih banyak yang lebih suka mengajar dengan pola lama, dengan berbagai alasan logis menurut mereka.

Sebagai guru suka atau tidak, perilaku dan karakteristik guru dan siswa yang kurang baik seperti uraian di atas, memunculkan pendapat yang kurang sedap terhadap profesi guru.

Guru Berkarakter

Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 3 menyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tersirat dan tersurat pada pasal UU Sisdiknas tersebut bahwa pendidikan harus bisa mengembangkan potensi anak didik yang berahlak mulia. Anak didik harus memiliki karakter. Karakter yang baik diperoleh dari pendidikan yang baik pula. Pendidikan yang baik selayaknya berorientasi pada aspek; kognitif (kemampuan intelektual: pengetahuan, pengertian, keterampilan berfikir), aspek afektif (aspek perasaan dan emosi: minat, sikap, apresiasi, cara penyesuaian diri), dan psikomotor (aspek keterampilan motorik). Dengan pendidikan yang mengintegrasikan ketiga aspek tersebut, siswa diharapkan dapat memiliki karakter seperti yang diungkapkan oleh Thomas Lickona : ketulusan hati atau kejujuran (honesty); belas kasih (compassion); kegagahberanian (courage); kasih sayang (kindness); kontrol diri (self-control); kerja sama (cooperation); kerja keras (deligence or hard work).

Pencapaian ketujuh pilar pendidikan karakter di atas baru bisa tercapai bila guru menyadari sikap dan perilakunya agar berkarakter. Kesuriteladanan guru patut dicontoh oleh para muridnya. Kemampuan guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai panutan, figur, pengayom dan pendidik. Pepatah ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tutwuri handayani seharusnya diingat dan diresapkan dalam hati. Dengan demikian pembelajaran senantiasa tidak akan hanya mengejar pencapaian target kurikulum, tetapi juga berupaya untuk menumbuhkan pembentukan etika dan budi pekerti para siswanya.

Munculnya ide pendidikan karakter, secara tidak langsung guru ditantang untuk mengembalikan jati dirinya. Dalam proses pembelajaran tidak hanya mengajar tetapi juga harus mampu mendidik. Pembelajaran tidak hanya mementingkan pada pengembangan dan pencapaian kemampuan intelektual, tetapi juga peningkatan kecerdasan emosional dan spiritual siswa secara aktif, kreatif dan komunikatif. Pendidikan karakter hanya dapat terwujud bila guru yang terlibat di dalamnya juga berkarakter, yaitu profesional, berkomitmen dan menunjukkan kapasitas dan tanggung jawab sebagai pendidik.

Guru berkarakter dipastikan mempunyai kualitas mental dan moral yang ajeg dalam arti tidak mudah terpengaruh oleh sikap irasional atau emosional. Mampu menjaga kehormatan dirinya, smart, berwawasan luas, tidak naïf, dan selalu bersyukur, mendahulukan kewajiban daripa hak. Bila guru seperti itu tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya duniawi semata. Segala tindak tanduknya didasari kesadaran bahwa hidup dan kehidupan dirinya harus bermanfaat untuk orang lain. Menyadari dengan sepenuh hati, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat buat masyarakat dan lingkugannya.

Yang dibutuhkan oleh guru berkarakter adalah kualitas moral atau integritas (moral quality or integrity); reputasi yang baik (good repute); status atau kapasitas (status or capacity). Sejatinya guru yang berkarakter adalah manusia yang bermoral, beretika, berintegritas terhadap tugas dan kewajibannya. Berani menyatakan yang benar sekalipun itu pahit.

Dr Thomas Lickona menyatakan; “pendidikan berkarakter adalah usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.” Sebagai pendidik yang berkarakter guru harus mempunyai visi dan misi untuk membentuk karakter siswa yang positif. Selama pembelajaran yang dilakukannya akan menuntun siswa agar bisa menilai benar salah satu nilai (value), mengerti yang baik dan yang buruk serta peduli apa yang benar harus dilakukan. Siswa dipupuk untuk berani melakukan satu perbuatan yang baik dan benar sekalipun mendapat tekanan dan godaan baik dari luar atau dari dalam.

Pendidikan karakter tidak akan membentuk manusia pintar yang pandai untuk memintari orang lain. Ketika bekerja atau menjadi pejabat tidak akan menyakiti atau mengkhianati hati nurani, rakyat atau bawahannya. Jiwanya akan mempunyai empati, tenggang rasa, dan berhati nurani. Banyaknya oknum pelaku korupsi, culas, berbohong, naïf, berzinah, bahkan melakukan aksi baku hantam ruang sidang DPR dan lain sebagainya, mungkin adalah akibat dari ketidaktercapaian tujuan pendidikan. Mereka tidak mendapatkan pendidikan etika dan budi pekerti layaknya anak sekolahan. Hasilnya adalah manusia cerdas otaknya saja tapi tidak cerdas secara mental dan spiritual.

Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari akan menjadi pepatah yang abadi. Tersirat bahwa guru harus menjadikan anak didiknya, manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Guru yang berkarakter mampu melakukan pendidikan dengan didasari dua tujuan utama yaitu; membantu manusia menjadi cerdas dan pandai (smart) dalam arti sesungguhnya dan membantu mereka untuk menjadi manusia yang baik. (Character education is as old as education itself. Down through history, education has had two great goals: to help people become smart and to help them become good). (The Return of Character Education, Lickona, Thomas, Journal citation : Educational Leadership, v51 n3 p6-11 Nov 1993).

Pepatah “guru ratu wong atua karo” harus menjadikan guru tidak hanya menjadi pengajar bagi para siswa, tetapi juga menjadi orang tua, teman, sahabat, dan saudara bagi para anak didiknya, Dengan sikap seperti itu, dengan penuh sadar dan keihlasan, guru akan lebih mudah memupuk kebajikan yang ada di dalam diri para siswanya. Guru seperti itu dalam proses belajar mengajarnya, berusaha menumbuhkembangkan kepribadian siswa agar menjadi baik tidak hanya utuk dirinya sendiri tetapi juga untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Thomas Lickona: Character education is the deliberate effort to cultivate virtue – that is objectively good human qualities that are good for the individual person and good for the whole society.

Tujuan pendidikan akan tercapai bila guru di dalam melakukan proses belajar mengajar senantiasa mengajarkan siswanya untuk mengetahui yang baik, menghayati dan mencintai kebaikan, serta melakukan kebaikan pada setiap kesempatan. Prof.Dr. Ratna Megawangi menyatakan: “Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. (Ratna Megawangi, Dr. Semua Berakar Pada Karakter, Jakarta, Lembaga Penerbit FE-UI, 2007).

Kendala dan Tantangan

Seorang guru yang berkarakter dalam arti berakhlak mulia, baik budi pekertinya serta mempunyai prinsip dan integritas untuk melakukan yang benar dengan sebenar-benarnya. Di lapangan ternyata tidak serta merta, menjadi manusia yang dimulyakan oleh lingkungannya. Seringkali idealisme yang tinggi dan ketinggian akhlak moralitas seperti itu harus berbenturan dengan kenyataan yang berlawanan. Bahkan, pada akhirnya guru berkarakter seperti itu teralinasi dan tersingkirkan karena tidak mampu “beradaptasi” dengan lingkungan yang ternyata bertentangan dengan hati nurani dan idealismenya.

Sebagai contoh, saat melakukan proses belajar mengajar, guru mengajarkan dan menasehati siswa didik untuk menjunjung tinggi kejujuran, kedisiplinan, keberanian, kepedulian terhadap orang lain, menjaga kehormatan diri dan orang lain, berperilaku senantiasa menggunakan hati dan lain sebagainya. Pada saat Ujian Akhir Nasional ternyata harus berbenturan di lapangan yang teramat naïf. Dikarenakan “tugas” dari kepala sekolah, maka dengan serta merta dalam keadaan terpaksa (tidak?) guru tersebut harus membuat kunci jawaban UAN dan diberikan kepada siswa dengan berbagai modus. Padahal sebagai insan pendidikan, seorang guru yang baik pasti hati kecilnya mengatakan apa yang dilakukannya adalah tidak benar dan tidak baik. Tetapi bila tidak melaksanakan “tugas” tersebut, dipastikan si guru akan dianggap tidak mendukung suksesnya UAN di sekolah. Dicemooh, dianggap sok suci, dipinggirkan dan dianggap tidak mau membantu kelulusan siswanya sendiri.

Masih banyak contoh kasus lain yang mungkin bahkan dialami sendiri oleh kita. Saat menemukan kasus yang tidak benar dan bertentangan dengan hati nurani yang menyangkut tugas, kebijakan, kesiswaan atau keuangan guru berkarakter akan tetap berani menyatakan dan mempertanyakan pada yang bersangkutan dengan bijaksana. Namun, keberanian untuk menyatakan yang benar itu benar atau menyatakan sesuatu yang salah itu tetap salah harus berbenturan dengan kebijakan yang tidak bijak. Bahkan, bukan rahasia lagi sebagian guru terlalu takut untuk membicarakan hal-hal yang “tabu”. Bila tidak dia akan dimutasi, atau bahkan diberhentikan seperti kejadian beberapa waktu lalu di Purwakarta.

Sepahit apapun kendala dan tantangan, guru yang baik akan tetap memegang prinsip dan idealisme yang didasari nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kedisipinan, keberanian, kehormatan dirinya sebagai seorang guru. Guru seperti inilah yang dapat melaksanakan pendidikan karakter yang sesungguhnya. Karena dia pantas untuk digugu dan ditiru. Guru yang telah benar memegang prinsip: ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tutwuri handayani dengan kukuh tidak terpengaruh oleh besar kecilnya kendala yang menghadangnya.

Bila tiba saatnya nanti, yang terbawa oleh kita hanyalah tiga hal yaitu: Ilmu yang bermanfaat, amal jariah, dan anak-anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya (Hadits Muslim). Bukan tinggi rendahnya jabatan, bukan banyak sedikitnya limpahan harta kekayaan, bukan cantik tampannya seseorang; yang akan menyelamatkan diri kita masing-masing. Sebab itu, jadilah yang terbaik bagi diri sendiri…


Penutup

Profesi guru pada masa saat ini, dituntut tidak hanya mengajar tetapi juga juga harus mampu mendidik anak didiknya dengan baik. Profesi guru akan menjadi pekerjaan yang mulia, bilama guru mampu menjadi panutan dan teladan bagi para siswanya. Oleh karena itu, guru harus dapat menjadi orang tua bagi para siswa di sekolah. Pepatah guru digugu dan ditiru, patut menjadi renungan bagi para guru pada saat memberikan pendidikan karakter. Anak didik kita, akan berkarakter baik bila kita sebagai gurunya mempunyai karakter yang baik.

Guru berkarakter tidak hanya profesional dari segi keilmuan, tetapi juga berperilaku dan berakhlak mulia sehingga bisa menjadi panutan dan contoh bagi para anak didiknya. Kearifan dan kebijakan sebagai seorang guru sangat dibutuhkan pada setiap melakukan proses belajar mengajar. Berpikiran panjang, dan memandang setiap sifat, sikap dan perilaku anak didiknya dari persfektif kejiwaan siswa disesuaikan dengan mereka.yang positif.

Pembentukan karakter siswa yang baik dan berakhlak mulia, tidak akan tercapai bila tidak ada kerja sama antara orang tua, masyarakat, guru dan birokrasi pendidikan. Diperlukan komitmen, sinergi dan kontinuitas orang tua, masyarakat, guru dan seluruh pemegang kebijakan pendidikan melaksanakan proses pembelajaran dengan optimal. Diperlukan tekad dan niat menjauhkan diri dari sikap hipokrit, ABS (Asal Bapak Senang), egoisme, oportunis dan sikap tidak baik lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayatullah, M. Furqon .2009. Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas.

Surakarta:Yuma Pustaka.

http://www.suparlan.com

http://edu-articles.com/category/lesson-study

http://charactercounts.org/resources/index.html

Mulyasa. E. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Jumat, 27 Agustus 2010

Wong Fei Hung...Pendekar Muslim dari China


TRIBUNNEWS.COM - Selama ini kita hanya mengenal Wong Fei Hung sebagai jagoan Kung fu dalam film "Once Upon A Time in China". Dalam film itu, karakter Wong Fei Hung diperankan oleh aktor terkenal Hong Kong, Jet Li. Namun siapakah sebenarnya Wong Fei Hung?


Wong Fei Hung adalah seorang ulama, ahli pengobatan, dan ahli beladiri legendaris yang namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional China oleh pemerintah China. Namun Pemerintah China sering berupaya mengaburkan jatidiri Wong Fei Hung sebagai seorang muslim demi menjaga supremasi kekuasaan komunis di China.

Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong.

Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong).

Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung.

Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.

Pasien klinik keluarga Wong yang meminta bantuan pengobatan umumnya berasal dari kalangan miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Walau begitu, Keluarga Wong tetap membantu setiap pasien yang datang dengan sungguh-sungguh. Keluarga Wong tidak pernah pandang bulu dalam membantu, tanpa memedulikan suku, ras, agama, semua dibantu tanpa pamrih.

Secara rahasia, keluarga Wong terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah melawan pemerintahan Dinasti Ch’in yang korup dan penindas. Dinasti Ch’in ialah Dinasti yang merubuhkan kekuasaan Dinasti Yuan yang memerintah sebelumnya. Dinasti Yuan ini dikenal sebagai satu-satunya Dinasti Kaisar Cina yang anggota keluarganya banyak yang memeluk agama Islam.

Wong Fei-Hung mulai mengasah bakat beladirinya sejak berguru kepada Luk Ah-Choi yang juga pernah menjadi guru ayahnya. Luk Ah-Choi inilah yang kemudian mengajarinya dasar-dasar jurus Hung Gar yang membuat Fei Hung sukses melahirkan jurus "Tendangan Tanpa Bayangan" yang legendaris.

Dasar-dasar jurus Hung Gar ditemukan, dikembangkan dan merupakan andalan dari Hung Hei-Kwun, kakak seperguruan Luk Ah-Choi. Hung Hei-Kwun adalah seorang pendekar Shaolin yang lolos dari peristiwa pembakaran dan pembantaian oleh pemerintahan Dinasti Ch’in pada 1734.

Hung Hei-Kwun ini adalah pemimpin pemberontakan bersejarah yang hampir mengalahkan dinasti penjajah Ch’in yang datang dari Manchuria (sekarang kita mengenalnya sebagai Korea). Jika saja pemerintah Ch’in tidak meminta bantuan pasukan-pasukan bersenjata bangsa asing (Rusia, Inggris, Jepang), pemberontakan pimpinan Hung Hei-Kwun itu niscaya akan berhasil mengusir pendudukan Dinasti Ch’in.

Setelah berguru kepada Luk Ah-Choi, Wong Fei-Hung kemudian berguru pada ayahnya sendiri hingga pada awal usia 20-an tahun, ia telah menjadi ahli pengobatan dan beladiri terkemuka. Bahkan ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih maju.

Kemampuan beladirinya semakin sulit ditandingi ketika ia berhasil membuat jurus baru yang sangat taktis namun efisien yang dinamakan jurus "Cakar Macan" dan jurus "Sembilan Pukulan Khusus".

Selain dengan tangan kosong, Wong Fei-Hung juga mahir menggunakan bermacam-macam senjata. Masyarakat Canton pernah menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana ia seorang diri dengan hanya memegang tongkat berhasil menghajar lebih dari 30 orang jagoan pelabuhan berbadan kekar dan kejam di Canton yang mengeroyoknya karena ia membela rakyat miskin yang akan mereka peras.

Dalam kehidupan keluarga, Allah banyak mengujinya dengan berbagai cobaan. Seorang anaknya terbunuh dalam suatu insiden perkelahian dengan mafia Canton. Wong Fei-Hung tiga kali menikah karena istri-istrinya meninggal dalam usia pendek.

Setelah istri ketiganya wafat, Wong Fei-Hung memutuskan untuk hidup sendiri sampai kemudian ia bertemu dengan Mok Gwai Lan, seorang perempuan muda yang kebetulan juga ahli beladiri. Mok Gwai Lan turut mengajar beladiri pada kelas khusus perempuan di perguruan suaminya. Mok Gwai Lan ini kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat.

Pada 1924 Wong Fei-Hung meninggal dalam usia 77 tahun. Masyarakat Cina, khususnya di Kwantung dan Canton mengenangnya sebagai pahlawan pembela kaum mustad’afin (tertindas) yang tidak pernah gentar membela kehormatan mereka. Siapapun dan berapapun jumlah orang yang menindas orang miskin, akan dilawannya dengan segenap kekuatan dan keberanian yang dimilikinya.

Wong Fei-Hung wafat dengan meninggalkan nama harum yang membuatnya dikenal sebagai manusia yang hidup mulia, salah satu pilihan hidup yang diberikan Allah kepada seorang muslim selain mati Syahid.

Semoga segala amal ibadahnya diterima di sisi Allah Swt dan semoga segala kebaikannya menjadi teladan bagi kita, generasi muslim yang hidup setelahnya. Amiin. (sabili)

Minggu, 23 Mei 2010

Allah Lebih Tahu dari Segalanya

Seringkali dalam hidup kita dihadapkan pada sikap dan perilaku seseorang yang justru membuat diri kita tidak nyaman. Apalagi bila orang tersebut bersikap seolah-olah kita adalah orang yang mudah miliknya dan dapat dia perlakukan dengan semena-mena. Baik dengan perlakuan, perkataan atau bahkan email yang membuat kita risih dan tidak enak hati.

Saatnya kita menutup rapat-rapat terhadap orang seperti itu. Bukannya kita tidak mau berteman. Tapi buat apa kita mengenal seseorang yang justru membuat kita bermasalah padahal sebelumnya lancar-lancar saja.

Namun, sayangnya orang yang berperilaku dan bersikap seperti itu tidak menyadari bahwa tingkah dan kata-katanya membuat hidup kita jadi tidak enjoy bila berhadapan, atau membaca email dari dia. Dia lancar-lancar saja mengumbar kata-kata baik memberik komentar pada status kita di Facebook, Twitter, Multiply dan lain sebagainya.

Pernah dialami sendiri, seorang teman SMA yang dulu sering saling kirim surat tapi tidak berbentuk satu hubungan apapun. Mengirim satu email, dia memprotes dan mempertanyakan blokir terhadapnya di facebook. Karena profilnya telah diblokir, dia terus mencoba menghubungi dengan memakai ID palsu bahkan terakhir memakai ID anaknya.

Sorry, saya memblokir Anda bukan karena saya tidak mau berteman dengan Anda. Tapi, kata-kata dan sikap Anda itu sepertinya terlalu over. Sehingga membuat saya tidak enak hati. Seringkali saya hanya bisa diam, dan mencoba memaklumi Anda. Tapi, kalau dipikir lagi. Apa untungnya berteman dengan orang yang membuat hidup kita tidak enjoy lagi?

Jadi? Silakan Anda terus menjustifikasi dan meneror saya dengan segala perbuatan, kata-kata dan email. Tapi saya, bergeming. Wallohu A'lam bishowab.....

Jumat, 21 Mei 2010

Keeping Kids Safe on the Internet: Profile of a Predator

By Natalie Walker Whitlock and Marilyn Martinez

Stranger Danger
Of all the hazards online, contact by strangers, whether sexual, angry or predatory by nature, is the most common – and potentially the most dangerous. Nearly every instance of Internet child luring or abduction begins with a relationship initiated by a “stranger.” It is vitally important for parents to help children understand what constitutes a “stranger” online. Tell a child to consider any person met online a stranger, unless he is certain the person he is writing to is someone they know well in person.

Keeping Kids Safe
on the Internet

  • Introduction
  • Online Risks & Threats
  • Profile of a Predator
  • Parent Power!
  • Chat Room Lingo
  • Warning Signs
  • Online Safety Guidelines
  • “You wouldn’t allow your child to walk across the street to talk to total strangers, don’t allow them to go online to talk to strangers,” says FBI Special Agent Randy Aden, who was a member of the FBI’s Crimes Against Children unit in L.A. until transferring recently to Ventura, California.

    Of course, most people your kids will meet on the Internet are harmless and interested in communicating in an honest way. But the reality of malicious contact is there. In fact, 22 percent of children ages 10 to 13 will be approached by an online predator, according to research from CyberAngels.com.

    Profile of a Predator
    Although considering the possibility that their child may come face-to-face with a sexual predator may be something many parents would rather not think about, it is an issue too important to ignore.

    According to law enforcement and experts, the first line of defense against a child falling victim to an Internet predator is awareness. “Making both parents and kids aware of Internet predators is the best way to ensure safety on the Net in the long run,” says Internet safety authority Josh Finer.

    “If parents don’t know how a pedophile builds the child’s trust, there is a much greater likelihood of online victimization,” says Tracey O’Connell-Jay, founder and director of Web Wise Kids, whose own 14-year-old sister disappeared for four months with a man she met online.

    Although each case is different, many Internet safety experts say online predators typically troll for children who are vulnerable, including kids who are lonely or new to online life. But other experts caution that parents should not feel immune because they believe their child is happy and well adjusted. Pre- adolescents, they say, are typically at a stage of development of insecurity and exploration, a frame of mind easily manipulated.

    “Children just reaching adolescence are the most mobile – they may not drive but they can get around, they are curious about their sexuality, and, in varying degrees, they feel that they don’t like home, they don’t like school, they aren’t popular enough,” says Aden. “If they are online with somebody who is playing the role right, who is manipulating them, the kid could be in a lot of danger.”

    In fact, children running away from home to meet a stranger they met online is so common now that the FBI’s L.A. office is hard-pressed to find time to troll for predators online. Instead, most cases, which in the past would have been simple “runaway” incidents, now involve agents crossing state lines to track down and intercept a child who is trying to meet up with a stranger.

    “The kids are not running away to meet a stranger; they are running away to meet somebody they think they can trust,” says Aden. “We’ve intercepted children as far away as Ohio.”

    Once the child’s barriers of caution are broken down, a predator introduces topics of a more personal and even sexual nature, such as asking about the child’s own sexuality or preying upon their natural curiosity. Predators often use images of child pornography to give the impression that it is normal for children to be involved in sexual activities. Finally, the online predator makes his move and arranges a face-to-face meeting with the child.

    Parents also need to be aware that the majority of contact by pedophiles is initiated in online areas of “real-time” communication, such as chat rooms and instant messaging (IM). In fact, according to the report Online Victimization, in 65 percent of the incidents of online sexual solicitation or harassment the meeting occurred in a chat room; 24 percent occurred through IM.

    “Chat sites are a great way to meet people online and can be lots of fun. But they are open to misuse,” says Belinda Sproston, spokesperson for CyberPatrol parental control software. “Monitor your child’s use of chat rooms and keep them out of those (rooms) that are unmonitored, as children can be under threat from dangerous persons masquerading as kids in chat rooms.”

    Finer points out that targeting kids in these live-chat areas is often a function of searching screen names and profiles. “Parents need to make sure to first, be aware of their kids’ screen names and certainly make sure they do not have any identifying info or anything suggestive in them. For example, ‘Scranton-cheer’ seems logical enough for a Scranton High cheerleader, but it would also give predators a geographic location to search on. Also, some teens have surprisingly suggestive names – for example “sexyteen5” – and this can attract the wrong kind of attention.”

    Given the inherent risk and lack of options when dealing with chat and IM, some parents have opted not to allow their children access to them at all. At the least, young children should never explore these capabilities alone or without prior permission to visit a specific channel or room, preferably one that is monitored and limited to kids only.

    Monica Clover, a Northridge mother of two, says her children each have a computer in their room, but it is not connected to the Internet.

    A computer in the den is the only one with Internet access, but her children do not have e-mail addresses.

    “They have to ask for permission to go online,” says Clover, of her kids ages 9 and 11. “They can only go to Disney or Cheatsheets.com to get game codes.”


    Continue: Parent Power! What you can do to keep your kids safe.
    Return to: Keeping Kids Safe on the Internet

    Related reading:
    Cyber Brats: Protect your kids from bullies who taunt their peers with the click of a mouse.

    Natalie Walker Whitlock is the author of A Parent’s Guide to the Internet (Parent’s Guide Press, 2003). Marilyn Martinez is the associate editor of
    L.A. Parent magazine.

    Kamis, 20 Mei 2010

    Saatnya Mengaji Diri Bersikap Adil


    Entah untuk sampai kapan bisa menerima dengan ikhlas, apa yang terjadi dan apa yang kita alami terhadap diri kita. Apakah sesuatu yang terjadi itu baik atau buruk. Disadari atau tidak, kita sepertinya hanya mau menerima dengan ikhlas apa yang menimpa diri kita bila hal itu sesuai dengan hati dan perasaan kita. Tapi, kita sulit sekali menerima dengan ikhlas sesuatu yang membuat diri kita terpuruk, bahkan hancur berkeping-kepingnya diri kita.

    Sudah dicoba untuk bisa bersikap adil terhadap dua keadaan berbeda dari sisi positif yaitu ikhlas menerimanya. Tapi, ternyata sulit bahkan tidak bisa. Entahlah sampai kapan bisa menerima baik buruk apa yang menimpa kejadian kita dengan senyuman.

    Adalah manusiawi bila kita belum mampu menjadi diri yang mampu untuk bersikap adil terhadap kejadian baik atau buruk. Hal itu memerlukan sangat memerlukan waktu dan kebijaksanaan kepribadian yang teramat tinggi. Mungkin hanya orang-orang tertentu yang dapat mencapai. Dan mungkin mereka dapat melakukan hal itu karena tingginya tingkat kesabaran mereka. Oleh karena itu kita mungkin, belum bisa menjadi seorang yang ikhlas untuk segala sesuatu yang kita lakukan atau kita alami dari lingkungan kita. Tapi kita bisa bersikap sabar. Sabar dalam arti sesabar-sabarnya. Rasional dan mau mengalah dan tidak emosional.

    Rabu, 19 Mei 2010

    Pidato Rileks Seorang Dicky Chandra


    Seorang Dicky Chandra selebritis kesekian yang menjadi birokrat. Berpidato pada acara penutupan pelatihan santri indigo di Pesantren Keresek.

    Gaya bahasanya sangat rileks, sederhana dan tidak menunjukkan bahwa dia lebih tinggi dari orang lain. Diselingi canda dan guyonan yang membuat seluruh peserta tertawa ngakak.
    Dicki Chandara terlihat sedikit canggung, bahkan tidak menunjukkan bahwa dia seoran wakil bupati. Santai dan penuh dengan sentilan-sentilan yang membuat kita tertawa.

    Ketika dia menyebut bahwa santri yang berilmu tinggu dapat beramal dengan baik. Maka santri itu sudah menjadi seorang Megy Z aliash "Dahsyat!" :D

    Kalimat demi kalimat mengalir deras walau sesekali melihat ke teks.

    Cerita demi cerita yang berisi nilai-nilai etika dan budi pekerti yang tinggi mengalir. Membuat peserta berderai tawanya.

    Dicky Chandra juga menceritakan beberapa tokoh Garut yang seharusnya menjadi pahlawan tapi kurang dikenal. Seperti Raden Musa, Raden Ayu Lasmini, Dewi Sartika.... dia ceritakan dengan lancar dan santai.

    Dia bilang: Dicky Chandra, wakil bupati Garut cuma lulusan SMA tapi bisa mengerti dan membahas internet bahkan hadis atau ilmu-ilmu agama dia download dan baca dari internet.

    Peserta tampak "menikmati" pidatonya yang ringan....

    Dia cerita, bahwa dia telah menjadi orang yang "SABAR" alias SAgala Bareuh... jangankan bertambah kekayaannya malahan berkurang. Semua peralatan rumah tangga dan elektronik di rumah dinasnya masih sama dengan yang digunakan wakil bupati terdahulu.

    Antara 100.000 dengan 1.000.000.


    Suatu hari ketika ayahnya sakit keras, dia membutuhkan uang 350 ribu rupiah. Seorang temannya memberikan bantuan uang 1 juta rupiah di rumahnya. Sesaat dia melihat white board ada tulisan Jadwal Fashion Show. Dia tanya itu sekali tampil berapa honornya. Kata temannya 50 ribu rupiah, berarti kalau tampil 2 kali honornya 100 ribu.
    Dicky mengambil 100 ribu, yang 900 ribu dikembalikan. Dia bilang, ini yang 100 ribu saya ambil dan nanti akan saya ganti dengan tampil fashion dua kali show....
    Beberapa waktu kemudian ternyata, ayahnya meninggal. Sebelum meninggal ayahnya berpesan: Saya bangga kamu mengambil 100 ribu, karena kamu mendapatkannya dengan keringat!

    Kemudian dia bercerita kesan2nya saat teman2nya sesama artis banyak yang mendukungnya padahal tidak dibayar sepeser pun....

    Kuncinya, mengalir seperti air. Manfaatkan setiap peluang dengan baik..., katanya.